Cadaver

46 12 15
                                    

Kupu-kupu hinggap di tubuh berlapis hemoglobin yang pecah menguarkan baru amis. Tak ada yang menyadari seonggok daging tak bernyawa tergeletak di bawah jembatan merah siang itu.

Seorang perempuan menjerit. Mengundang sebagian warga yang lewat menolehkan kepala ke asal suara. Perempuan itu adalah orang pertama yang menyadari ke
beradaan mayat barusan. Segera, puluhan orang mengerubungi TKP dengan rasa penasaran yang tinggi. Siang ini, jembatan merah kembali menjadi saksi bisu pembunuhan berantai.

***

"Pembunuhan lagi?"

"Mungkin, mayat ini mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya."

"Kejam sekali. Dibakar hidup-hidup bukan tindakan manusiawi, gah kenapa akhir-akhir ini kasus seperti ini sering terjadi sih, ada apa?"

Sayup-sayup terdengar percakapan warga tentang kejadian ini. Seseorang berompi biru di mobil ambulance tengah berjaga di kursi kemudi, tak memperdulikan percakapan barusan.

Satu mobil polisi dan satu mobil ambulance segera meraungkan sirinenya lima menit kemudian setelah salah seorang warga melapor. Mayat yang sudah membusuk itu di letakan di atas bangsal dan di bawa kedalam ambulance oleh petugas. Tubuh hangus di selimuti seluruhnya sehingga kengerian dari kejamnya pembunuh tak dapat terlihat lagi.

***

Bangsal diturunkan dari ambulance dan segera di bawa menuju ruang otopsi jenazah di rumah sakit Wijaya Kusuma.

Dibawah sinar lampu, tangan-tangan dingin tak henti bekerja membedah mayat dihadapan mereka. Sekitar tiga orang petugas otopsi sedang melakukan tugasnya disini.

"Pola dan luka yang sama seperti korban sebelumnya, tak diragukan pelaku adalah satu orang yang tengah menjadi buronan kasus akhir-akhir ini." Seseorang yang memegang gunting bedah berujar.

"Jangan lupakan pesan yang selalu disertakan." Disebelah seorang berkacamata menyahut.

"Dia pintar, pesan itu tersembunyi di dalam mulut korban sebelum membakarnya hidup-hidup. Area mulut dalam tak akan terbakar, jadi kertas itu aman di mulut si mayat."

"Nomor yang tertulis di kertas itu, kenapa harus nomor induk kartu penduduk? Adakah petunjuk lain selain deretan angka itu?" Si kacamata memegang secarik kertas yang sebelumnya ia ambil dari mulut korban.

"Dengan kondisi korban yang hangus seperti ini, sulit untuk mengenalinya. Boleh dikatakan nomor ini mempermudah kita mengidentifikasi. Apa artinya ini?"

"Tak ada petunjuk mengenai si pelaku. Tujuan si pelaku menulisnya pun belum diketahui sampai sekarang." Lelaki yang memegang gunting meletakkan alat itu dan membuka masker yang menutupi wajahnya. "Hei, kau diam saja, ada sesuatu yang kau pikirkan?"

Orang ketiga yang tak terlibat dalam percakapan tersadar dari lamunannya.

"Ah, jangan hiraukan aku, lanjutkan saja analisanya."

"Dasar, kau juga kan harus ikut menganalisa. Kasus ini akan menemui jalan buntu jika terus begini."

Pintu ruang otopsi dibuka, seseorang berompi biru masuk. Si supir ambulance.

"Maaf mengganggu, petugas kepolisian meminta laporan kasus kali ini. Anda sekalian di minta untuk pergi ke kantor RS sekarang juga."
Ujarnya.

"Apa yang petugas kepolisian pikirkan? Kita bahkan belum selesai mengotopsinya."

"Sudah lah cepat turuti saja, oh ya terima kasih pas supir. Tolong kunci ruangan ini setelah kami pergi ya." Ujar si kacamata.

"Baik pak."

Sebelum benar-benar keluar, si petugas otopsi ketiga melirik sejenak pada si supir ambulance barusan kemudian berlalu pergi.

Setelah langkah kaki tak terdengar lagi, di ruangan 7 x 8 itu sekarang hanya dirinya seorang. Si supir berjalan menghampiri mayat yang belum selesai diotopsi di atas bangsal. Bau busuk menguar tapi ia menghiraukannya dan meraih secarik kertas yang menjadi pesan tersembunyi si pelaku.

"Apa aku terlalu baik sampai menyertakan identitas kalian? Padahal ini mempermudah mereka  untuk memulangkanmu. Ah sudahlah."

End (?)

penuliskece2019
 

CadaverWhere stories live. Discover now