Metode Baru

7 0 0
                                    

Seberkas cahaya oranye mulai mewarnai langit sore. Sapu lidi di tanganku mengayun seirama dengan senandung dalam kepalaku. Setelah jalanan bersih dari daun-daun musim gugur, kakiku melangkah indah dan berputar sambil sedikit meliuk-liuk. Sinar matahari yang lolos dari tirai bernama awan seolah menyorot setiap gerakanku.

Sayup-sayup kudengar angin berbisik padaku, "Oh, lelaki malang. Ia berdansa dengan sebuah sapu."

Tiba-tiba angin kencang datang dan mengacak-acak dedaunan yang sudah terkumpul di bawah pohon. Sebenarnya aku agak jengkel, tapi biarlah. Sekalian saja kunikmati daun-daun kering yang beterbangan di sekelilingku itu.

Suasana semakin sendu ketika langit mulai gelap. Angin yang meledekku pun sudah mulai beranjak entah ke mana. Samar-samar kudengar bunyi decitan seperti sebuah besi yang digesekkan dengan keramik secara paksa. Kulihat sekelilingku sepi. Hanya ada aku dan sapu lidi tua di tanganku. Aduh, semakin lama suaranya semakin keras saja. Aku terpaksa bangun dari mimpi indahku pagi itu.

"Astaga," aku mengusap wajahku dengan frustasi. "Tetangga jahat mana yang memotong keramik pagi buta begini?"

Kutarik napas dalam-dalam dan kuembuskan perlahan, bersiap menahan emosi sebelum menangkap basah pelaku kriminal subuh itu. Selangkah, dua langkah, dan . . . eh?

"Tumben udah bangun?" ujar Ibu yang masih mengenakan mukena merah kesayangannya.

"Ibu ngapain?"

"Salat."

"Bukan, itu." Aku menunjuk pengeras suara setinggi satu meter yang menyala dan tersambung ke ponsel Ibu.

"Metode baru." Jawabnya enteng.

Aku yang telanjur kesal melangkahkan kakiku ke kamar mandi dengan hati dongkol.

Portobello dan Cerpen LainnyaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora