Bab Empat

243 8 4
                                    

"Saran gue sih jangan bulan ketujuh. Bulan itu project baru dimulai, Yo. Pengesahan batu pertama."

Kinan memberi saran. Dia cukup kaget pas dengar Gio mau melamar dan menikah.

"Berarti cepetin aja?"

"Terserah lo, sih. Tapi emang lo yakin? Kan baru kenal."

"Udah lama kenalnya. Dari jaman dia masih SD."

"Tapi kan udah lama banget itu mah. Baru ketemu lagi sekarang. Emangnya dia nggak kaget apa tiba-tiba lo ngelamar gini? Dia single?"

Gio menunduk. Bayangan Sonia mendadak muncul di kepalanya.

"Yakin, kok."

"Yah daripada zina sih emang baiknya cari pasangan serius dan menikah. Tapi pernikahan tuh nggak main-main. Yang gue tau lo selama ini ngejomblo, trus gara-gara ketemu sama orang lama masa mau langsung nikah? Buat gue sih agak aneh, kenapa lo nggak pendekatan aja dulu? Kalo taunya nggak cocok gimana?"

Semuanya terjadi gara-gara malam itu di dekat pintu toilet. Sonia yang tiba-tiba muncul dihadapannya mau nggak mau menyeret Ayas ke dalam masalah ini. Gio secara refleks menyebut Ayas sebagai calon istrinya. Padahal, niat buat kenal lebih dalam aja Gio nggak kepikiran.

Apalagi menikah?

"Gue mau jalanin sesuai alur. Dan kayaknya ini alur hidup yang Tuhan kasih ke gue. Dengan cara begini."

"Sebaiknya lo pikirin lagi, Yo. Secara matang dan bijak. Nggak lucu kan kalo lo menikah karna sifat jelek keburu-buru lo itu? Apa kata keluarga yang cewek nanti?"

Kinan berdiri. Jam udah menunjukkan pukul 12, udah waktunya makan siang. Dia mengajak rekan-rekannya yang lain untuk istirahat.

"Makan dulu dah. Sekalian ngopi. Satu batang rokok juga oke buat ngilangin pikiran ruyem."

Gio mendesah. Ia pasrah ketika Kinan menarik tangannya dan mereka—tim perancangan pergi makan di restoran terdekat. Mereka sering makan siang di sana dan Gio lebih dulu mengambil kursi di dekat jendela, disusul teman-temannya.

"Pesen apa?"

"Biasa aja."

"Yaudah, Bu. Pecel ayamnya jadi dua. Sisanya soto ayam pake nasi dipisah. Minumnya teh tawar anget semua."

Begitu Kinan selesai memesan, Gio mendapat satu pesan masuk. Matanya memincing dan senyumnya mengembang begitu melihat pop-up chat di layar ponselnya.

Dari Ayasha.

"Siapa tuh?"

"Ayas."

"Cewek lo itu?"

"H-hm."

"Liat dong foto profilnya." Kinan mendekat. Gio otomatis mendekatkan hp-nya. "Bentar, gue save dulu nomornya."

Nggak lama kemudian, Kinan berseru heboh. Dia baru aja melihat foto profil Ayas dan menurutnya Gio harus berpikir ulang untuk melamar dan menikahi cewek itu. "Lo yakin? Masih muda banget gitu kayaknya?"

"Apa sih." Gio menyimpan kembali hp-nya. Dia memperhatikan teman-temannya yang bertampang nggak peduli tapi ingin tau.

"Kerja dimana?"

"Masih kuliah."

"Wah, Yo. Kepala gue jadi nyut-nyutan begini."

Pesanan mereka datang. Gio yang awalnya nggak merasa lapar mendadak lahap dan makanannya lebih dulu habis dibandingkan yang lain. Sedangkan Kinan malah tampak lesu. Makanannya nggak habis. Kucing liar berwarna oranye yang biasa duduk di bawah meja mereka pun menatap Kinan penuh haru sambil mengigit sisa potongan ayam pemberiannya itu.

"Cewek lo aja mau diajak merit padahal masih muda, tapi Ana malah nolak gue nikahin. Dia mau fokus sama pekerjaannya dan gue nggak yakin bisa nunggu dia apa nggak." Kinan mendesah berat. Dia natap ke luar jendela.

"Kok gitu? Lo kan bucin banget sama dia," kata Gio. Keningnya mengerut melihat wajah temannya berubah murung.

"Nyokap gue minta nambah cucu."

"No comment."

Gio bersandar. Dia jadi kepikiran Ayas yang masih terlalu muda untuk menikah. Usianya baru 21 tahun, kuliahnya masih di semester tiga. Cewek itu baru aja masuk semester baru dan dia berencana menikahinya dua atau tiga bulan lagi. Masih banyak keperluan yang harus mereka siapkan, tapi sepertinya agak susah karena dua-duanya sibuk.

"Gue nanti balik duluan."

"Lo nggak ikut perjamuan bareng Mr. Anthony?"

"Nggak, lo aja yang gantiin. Gue ada urusan ntar sore. Sorry."

Mereka udah selesai bayar. Keempatnya—Gio, Kinan, dan dua rekan kerja satu timnya kembali ke kantor dengan berjalan kaki. Sinar matahari yang cukup terik membuat mereka sedikit lebih cepat sampai ke kantor.

"Tumben banget lo nggak ikut acara gituan. Biasanya paling gercep." Di ruangan kepala divisi, Kinan berkomentar. Dia duduk sembarangan di sofa sambil meniup kopinya.

"Ada yang mau gue omongin sama Ayas," sahut Gio dari balik brankas. Kepalanya menyembul di balik tumpukkan berkas. Matanya menelisik tajam begitu ia menemukan selembar foto usang bergambar dirinya bersama Sonia beberapa tahun yang lalu.

"Gimana pun juga, gue harus tanggung jawab. Gue bakal nikahin dia karna gue bilang begitu. Dan buat urusan Sonia... dia itu cuman masa lalu, kan?"

***

I Got LoveWhere stories live. Discover now