Bab Enam

330 8 0
                                    

Acara lamaran baru aja selesai. Sampai saat ini, semuanya berjalan sukses. Ayas nggak mengundang banyak orang, hanya ditemani mama dan papanya, serta dua kakak sepupu yang udah sangat dekat dengannya. Gio pun sama, hanya didampingi oleh kedua orang tuanya. Mereka ingin acara lamaran ini berjalan khidmat.

Sekarang mereka sedang makan siang. Gio yang sedari tadi diam pun ternyata cukup menarik perhatian Papa Johan. Bapak berusia lebih dari setengah abad itu menepuk pundak Gio pelan, "Hei, ngelamun aja. Kesambet setan baru tau kamu."

Gio ketawa pelan. Dia meletakkan piring berisi buah yang tadi diambilkan ibunya, "Siang-siang nggak ada setan, Om. Tapi kalo kena pelet, ya bisa jadi."

"Hahaha! Jokes bapak-bapak banget, ya, kamu!"

Beberapa orang sudah selesai makan. Semuanya pada sibuk mengobrol, dan Papa Johan mengajak Gio ke taman belakang. Mereka duduk di ayunan, saling menatap ke kolam ikan.

"Diminum, ya, tehnya." Ayas membawa dua cangkir teh dan setoples snack ringan. Ia menaruhnya di meja.

"Makasih, Sayang." Papa Johan langsung mengambil cangkir teh itu.

"Makasih, Yas."

"Sama-sama."

Seperginya Ayas dari taman belakang, Papa Johan mulai membuka suara. Sebelumnya ia menyuruh Gio minum teh karena mumpung masih hangat. Cowok muda itu menurut. "Diminum, ya, Om."

"Silakan, silakan!"

Papa Johan juga ikut menyeruput teh manis itu pelan-pelan.

"Yo, sebenernya saya nggak mau ngajak bicara kayak gini, takutnya kamu tersinggung."

Terdapat beberapa guratan tipis di kening Gio, "Bicara gimana, Om?"

Papa Johan menarik napas panjang. Ia menggenggam cangkir teh yang masih hangat dengan kedua tangannya. "Tentang Ayas. Putri saya satu-satunya."

Gio berdeham pelan. Ia tau kalau dirinya bakal mengalami situasi kayak gini—diajak bicara serius sama calon mertua, tapi Gio nggak nyangka kalau dia bakal berada di fase ini sekarang.

Di detik ini.

Mendadak, jantungnya berdegup kencang. Gio menebak dalam hati, apa yang akan dibicarakan oleh papanya Ayas. Dari raut wajahnya, sepertinya serius. Gio bahkan sempat berpikir kalau jangan-jangan Papa Johan tau alasan sebenarnya dia melamar dan ingin menikahi Ayas.

Nggak, itu mustahil. Toh orang tuanya aja nggak tau apa-apa.

"Gini, Yo. Saya tau, mau selama apa saya hidup, saya bakal ngerasain suasana seperti ini. Pertama, bakal ada anak cowok ingusan yang dikenalin Ayasha sebagai pacarnya. Kedua, akan ada waktunya laki-laki serius yang datang ke rumah ingin ngelamar anak saya. Sampai akhirnya Ayas dan calonnya menikah. Lalu mereka punya anak, saya punya cucu. Kemudian saya dan mamanya Ayas makin menua dan kembali pada Tuhan."

Gio terdiam. Kata-kata Papa Johan tiba-tiba sangat melekat di kepalanya.

"Tapi, Yo, hebatnya, tahap pertama itu sama sekali nggak saya dapatkan." Papa Johan tersenyum. Dia natap cowok muda yang kelak akan meminang putrinya dengan matanya yang sayu, "Kamu berhasil masuk dan terjun langsung ke tahap kedua. Kamu dengan berani dan serius melamar Ayas. Saya salut sama kamu."

Gio mendongak. Ia cukup kaget mendengar pernyataan papanya Ayas.

"Maksudnya, Ayas nggak pernah kenalin pacarnya ke Om?"

Papa Johan ketawa. Dia menepuk paha Gio geli, "Rahasia kita berdua, ya?"

Gio mendekat. Papa Johan berbisik sesuatu yang bikin Gio sama sekali nggak percaya, "Ayas nggak pernah punya pacar. Dia nggak pernah sekalipun pacaran."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 26, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I Got LoveWhere stories live. Discover now