Bab Lima

229 8 1
                                    

"Bagus yang mana, Nad? Jawa apa Sunda?"

Nada terlihat bingung. Dia bolak-balik buku katalog kebaya dan mikir keras buat kasih jawaban ke Ayas yang udah lebih dulu nggak bisa mikir.

"Karna gue orang Jawa, ya gue sukanya baju adat Jawa.Tapi gue balikin lagi ke lo, maunya gimana?"

"Gue bingung, Nad..." suara Ayas terdengar putus asa. Dia naruh kepalanya di atas meja, digetok-getokin sampai suara ketukan pintu membuyarkan pikiran mereka berdua. Seseorang berdiri di sana dengan pakaian khas orang kantor.

"Hai."

Kening Nada mengerut. Dia mencolek Ayas sampai kepala cewek itu mendongak, "Apa?"

"Ada tamu."

"Hah?"

Ayas menoleh ke pintu masuk. Matanya membulat melihat siapa yang datang.

"Kak Gio?"

"Aku ganggu, ya?"

"Nggak!" Ayas menutup mulutnya kaget. Dia terlalu cepat menyahut dan itu terdengar memalukan. "Ng, maksudku, nggak, Kak," ralatnya dengan suara lebih pelan.

Nada yang semula duduk di karpet pun berdiri. Dia pamit ke dapur dan meminta pada Bude Ros untuk dibuatkan minuman.

"Tadi aku sempet chat kamu sebelum ke sini. Tapi kayanya kamu lagi sibuk. Tuh, ada yang nelfon tapi kamu nggak sadar."

Ayas sontak mencari ponselnya. Sehari-hari ia memang memasang mode silent karena tidak suka bunyi berisik dari notifikasi grup chatnya. Dan itu membuatnya tidak sadar kalau Gio mengirim pesan satu jam yang lalu dan meneleponnya sebanyak dua kali.

"Aduh, maaf, Kak. Aku lagi pilih-pilih kebaya jadi nggak liat hp."

Gio mengangguk. Kemudian ia tersenyum kecil, "Udah milih mau pake yang mana?"

Ayas mendengus. Cewek itu merengut karena merasa pening ditanya tentang kebaya. Menurutnya, ia nggak harus milih sendiri. Dirinya memang perempuan dan biasanya yang mengurus pernikahan sampai tetek-bengeknya itu adalah pihaknya. Ayas nggak menyalahi, tapi kalau harus milih sendiri tanpa ada yang diajak bicara, dia juga pusing.

Makanya Nada dengan baik hati membantu Ayas, meskipun temannya itu nggak banyak membantu—sama-sama bingung menentukan pilihan.

"Aku masih nggak tau mau pake kebaya yang kayak gimana, Kak. Pusing milihnya, bagus semua."

Gio meraih buku katalog itu. Dia membuka selembar demi selembar, kemudian mencocokkannya dengan Ayas.

Ayas yang melihat Gio sesekali meliriknya itu merasa risih. "Kakak liatin apa, sih? Kayak psiko gitu."

Gio ketawa. Dia hendak menunjukkan satu kebaya adat sunda pada Ayas sebelum Bude Ros datang membawa minuman. "Silakan, Den."

"Makasih, Bu," ucap Gio. Bude Ros mengangguk sambil tersenyum kecil.

"Makasih, Bude. Aku sampe lupa ngomong. Nada yang minta, ya?"

"Iya, Non. Dek Nada tadi yang minta. Anaknya langsung ke kamar Non," kata Bude.

"Oh, yaudah. Makasih ya Bude!"

Bude Ros kembali ke dapur. Gio memperhatikan rumah Ayas yang tampak sepi.

"Kamu sendiri aja? Tante Ririn kemana?"

"Mama lagi arisan. Aku berdua aja sama Bude Ros, trus tadi Nada dateng."

"Oh, yang tadi itu temen kamu? Namanya Nada?"

Mata Ayas memicing. Dia menatap Gio judes, "Iya, yang tadi itu Nada, temen aku. Kenapa? Kakak naksir? Jangan deh, she's taken."

Kali ini Gio tertawa lepas. Dia sampai menutup buku katalog dan menyimpannya kembali di meja. Kemudian ia menatap Ayas dengan pandangan lembut. Cewek yang ditatap itu pun jadi salah tingkah.

"Jadi Nada udah ada yang punya, ya?"

Ayas gelagapan. Ia menjawab sekenanya, "Iya."

"Kalo kamu? Single, kan?"

"Hm.. gimana, ya? Mau dibilang single, tapi aku bakal nikah. Dibilang mau nikah, tapi nggak punya pacar. Kakak kan nggak nembak aku."

Gio tersenyum tipis. Dia sempat menunduk kecil sebelum akhirnya kembali menatap Ayas dalam. Sikap tubuhnya terlihat lebih tegas dan tatapannya serius. Ayas yang semula menimpali obrolan Gio dengan sedikit candaan pun mendadak canggung.

Kenapa, sih?

Kok jadi serius begini?

"Ayas, aku minta maaf sebelumnya karna tiba-tiba ngajak kamu nikah. Kalo kamu mikirnya ini cuman bercandaan, nggak, sama sekali nggak bercanda, Yas. Aku serius mau nikahin kamu."

Ayas terdiam. Dia bisa lihat raut serius tanpa kebohongan di kedua mata Gio. Walaupun pada awalnya ia memang ragu dengan pernyataan Gio malam itu yang bilang kalau Ayas adalah calon istrinya, tapi ternyata tujuan dari acara makan malam itu memang untuk mengenalkan mereka berdua. Ayasha dan Giovan. Orang tua mereka ingin kedua anaknya saling mengenal dan berakhir di pelaminan.

"Kak, aku—"

"Aku nggak bisa mikir banyak waktu itu. Aku udah tau rencana orang tua kita, jadi kupikir sekalian aja aku bilang ke kamu." Gio nunduk. Ia nggak sanggup menatap mata polos Ayas terlalu lama. Ada perasaan sedih dan menyesal karena tanpa sengaja sudah menyeret cewek itu ke dalam masalahnya. Ditambah, baru saja Gio berbohong padanya. "Aku minta maaf."

Ayas bisa dengar nada ragu di akhir kalimat cowok di hadapannya itu, tapi sebisa mungkin ia nggak mempermasalahkannya. Ayas malah merasa nggak enak hati karena udah bikin seorang laki-laki yang baru dikenal meminta maaf sambil menunduk, padahal dirinya nggak salah.

Menurut Ayas, bukan kesalahan Gio sama sekali mengajaknya untuk menikah.

Ini semua udah direncakan lebih dulu oleh orang tua mereka. Bedanya, mungkin Om Rully dan Tante Linda lebih terbuka pada anaknya tentang masalah ini. Sedangkan Mama Ririn dan Papa Johan seakan mengikuti alur aja.

Mama Ririn pernah bilang, kalau Ayas suka, ya teruskan. Kalau nggak, bisa dibicarakan baik-baik.

Namun, sampai sekarang Ayas nggak protes. Dia malah rela berpusing ria memikirkan kebaya apa yang bakal dipakainya untuk acara akad nikahnya nanti.

"Jangan ngomong gitu, Kak. Aku jadi nggak enak."

Ayas tersenyum. Tangannya terulur menyentuh kedua tangan Gio yang terkepal. Rupanya, cowok jangkung itu sedikit gugup.

"Aku single, kok. Dan aku mau nikah sama Kakak. Aku nggak masalah sama omongan orang yang bilang ini kecepetan atau gimana, toh aku suka sama cowok yang gentle. Nggak minta pacar-pacaran dulu sampe gombal ke ujung kulon, tapi malah langsung ngelamar. Lebih keren Kakak kemana-mana, kan?"

Gio terdiam. Cowok itu tau kalau dirinya hanya sedang bertanggung jawab atas apa yang udah ia lakukan. Dari kecil, kedua orang tuanya sangat tegas. Gio terdidik sebagai seseorang yang diberi kepercayaan tinggi dari kedua orang tuanya. Karena itu, mau nggak mau Gio harus mempertahankan kepercayaan kedua orang tuanya, sekaligus nggak membuat malu nama baik keluarga mereka hanya karena dirinya yang termakan emosi dan bertindak impulsif dengan mengatakan sesuatu yang fatal.

"Dah, diminum dulu tehnya. Abis itu bantu aku pilih kebaya, ya Kak? Mumpung Kakak di sini, jadi sekalian liat kira-kira cocok yang mana."

Sore itu, Gio baru menyadari kalau ia benar-benar akan menikah dalam waktu dekat.

***

I Got LoveWhere stories live. Discover now