Sekolah

4 0 0
                                    

"Loh, udah masuk aja lo!" tegur Dafa, teman sekelasnya. Ryan mengangguk, melangkah masuk ke dalam kelas.

"Lama ga masuk, sakit apa lo bang?" Dafa merangkul Ryan.

"Panas gue, gara-gara kehujanan" jawab Ryan. Dia tak sepenuhnya berbohong, kan?

"Oiya ya, deres banget ujan kapan itu, bagus deh lo udah bisa masuk, event nya bentar lagi bro" Dafa menepuk bahu Ryan.

"Gimana jadinya?" tanya Ryan.

"Amann, santai aja lo. Dikit lagi kelar" jelas Dafa. Ryan mengangguk.

"Nanti kalo lo kesana, ajak gue ya?" pinta Ryan. Dafa mengangguk.

Setelah pulang sekolah, Ryan bersama Dafa menuju ruang OSIS. Disana sudah ada beberapa anak OSIS yang sudah dateng, menyapa Ryan. Ryan hanya mengangguk saja, itu sudah cukup untuk membalas sapaan mereka. Setelahnya Ryan pun duduk, mengecek beberapa berkas, terkadang menanyakan satu-dua hal. Tidak ada yang berani mengganggu Ryan, selain karena ia disegani, mereka tampaknya beranggapan bahwa Ryan belum begitu sehat. Ryan sedari tadi tidak melepas masker dan hoodienya, bahkan tudung hoodie hampir menutupi wajahnya. Situasi yang sama berlangsung cukup lama, sampai pintu ruang OSIS tiba-tiba terbuka.

"Mana Ryan?" Rama berdiri di depan pintu, Reyhan ada di sebelahnya, memegang bola basket. Ryan menoleh ke arah pintu, kemudian beranjak menghampiri Rama. Setelah berbincang sebentar, Ryan mengangguk, kembali masuk ke dalam.

"Gue izin pulang duluan ya, ada urusan. Kalo ada apa-apa hubungi gue aja" pamit Ryan. Semua anak OSIS yang ada di sana mengangguk. Toh mereka sebentar lagi juga akan pulang.

"Lo pusing?" tanya Rama. Ryan mengangguk, memijat pelipisnya.

"Kayaknya anemia gue deh. Tapi gue oke kok, cuma pusing dikit. Daritadi kan gue duduk terus" jawab Ryan. Rama mengangguk, kemudian merangkul Ryan.

"Sesek ga?" kini giliran Reyhan yang bertanya. Ryan menggeleng.

"Aman, nanti gue balik langsung istirahat" ucap Ryan, menepuk bahu Reyhan. Reyhan mengangguk percaya. Lagipula ia bisa mengunjungi rumah Ryan kapan saja.

"Tante di rumah ga?" tanya Rama. Ryan menggeleng ragu.

"Kayaknya masih di butik kalo jam segini" jawab Ryan.

"Mau kita temani?" tawar Reyhan. Ryan menggeleng.

"Gausah, gue beneran istirahat kok" ucap Ryan meyakinkan teman-temannya. Rama mengangguk.

"Kalo ada apa-apa, hubungi kita ya" balas Rama sambil menepuk pundak Ryan. Ryan mengangguk, kemudian mereka menaiki motor masing-masing untuk kembali ke rumah. Jarak antar rumah mereka juga tidak terlalu jauh, mereka 'kan tetangga.

Ryan menepati janjinya, segera beristirahat ketika sampai rumah. Setelah berganti baju, ia duduk di pinggir kasurnya, menyetel portable oxygen miliknya. Ryan rasa, kamarnya sudah berubah menjadi rumah sakit sekarang. Obat-obatan yang tersusun rapi di laci meja samping kasurnya, tabung oksigen, nebulizer, inhaler, bahkan tiang infus juga ada di kamarnya. Ryan menghela napas, memakai nasal kanulnya. Sebenarnya ia sudah lelah, tetapi ia tidak mau melihat wajah-wajah kehilangan dari orang terdekatnya. Ia menyayangi mereka, sangat. Ia harus tetap berjuang demi mereka. Lamat-lamat, Ryan terseret dalam lamunannya ke alam mimpi.

"Ryan udah bangun?" tanya mama ketika Ryan menuruni tangga untuk makan malam. Ryan mengangguk.

"Hari ini mau ada keluarganya tante Mira mau kesini, kebetulan tadi mama ketemu di butik, jadi sekalian aja mama ajak makan disini. Siap-siap ya" ucap mama. Ryan mencerna sejenak, siapa tante Mira.

"Tante Mira itu yang adek kelasnya mama bukan?" tanya Ryan memastikan. Mama mengangguk.

"Aku boleh ngga pake nasal kanul?" tanya Ryan, menunjuk portable oxygen yang ia tenteng. Mama menimbang sejenak, kemudian mengangguk.

"Aku naik lagi kalo gitu" balas Ryan, kembali lagi ke kamarnya.

Makan malam berlangsung lancar, tidak terjadi hal-hal yang di luar kendali. Keluarga tante Mira juga keluarga yang baik, tidak ada masalah sama sekali tentang itu. Bahkan ia sempat bermain-main sebentar dengan anaknya tante Mira yang berumur 6 tahun, begitu menggemaskan. Everything is fine, sampai Cala, anaknya tante Mira, mengajak Ryan bermain ayunan di halaman belakang. Pikir Ryan, ia akan baik-baik saja, dia akan segera masuk begitu merasa dingin. Ryan begitu asyik bermain, sampai melupakan fakta bahwa angin malam tidak baik untuk tubuhnya. Ryan baru tersadar ketika Cala dipanggil oleh tante Mira, diajak pulang. Awalnya ia pikir akan baik-baik saja, sampai ketika ia akan melangkah masuk, ia menyadari bahwa badannya sudah menggigil sejak tadi. Ryan naik ke kamarnya dengan terburu-buru.

Sesampai di kamar, Ryan segera memakai inhalernya. Beberapa semprotan, sampai akhirnya ia berbaring di kasur. Lelah. Ryan menimbang-nimbang, haruskah ia meminum obat dan tidur sekarang, atau membantu mamanya terlebih dahulu? Setelah cukup lama menimbang, Ryan akhirnya memutuskan untuk meminum obatnya dan turun kembali untuk membantu mamanya. Toh dia sudah merasa lebih baik.

"Ma? Tante Mira udah pulang?" tanya Ryan kepada mamanya. Mama yang sedang membereskan meja makan mendongak.

"Udah, barusan. Kamu kemana? Cala nyariin tadi" jawab mama. Ryan hanya nyengir. Ryan pun membantu mamanya untuk membereskan meja, juga mencuci piring-piring. Selama mencuci napasnya mulai memburu, tetapi ia masih bisa membuatnya terlihat normal.

"Ma, ini udah. Aku naik, ya?" tanya Ryan pada mama. Setelah mendapat jawaban dari mama, Ryan segera naik, menghindari tatapan mamanya karena ia tahu mamanya pasti menyadari apa yang terjadi.

Di kamarnya, Ryan segera memakai lagi inhalernya. Merasa inhaler tidak dapat membantunya lebih jauh, ia menenggak obatnya sekali lagi. Setelah menenggak obatnya, ia melapisi tubuhnya dengan hoodie, memakai kembali nasal kanulnya, dan bersiap untuk tidur. Ryan berharap agar keadaannya tidak memburuk di saat ia tidur, supaya besok ia bisa kembali sekolah.

He's SickWhere stories live. Discover now