Pertemuan Dengan Mantan Terindah

91 1 0
                                    

Terik sinar matahari seperti memanggang kepala dan wajah Eva. Titik-titik peluh muncul di dahi dan pipinya, juga mengalir di punggung dan dada, hingga baju dan rambutnya basah.

Wajah Eva kusam tanpa bedak dan bibirnya pucat, tanpa pulasan lipstik. Sendalnya yang tipis tak mampu melindungi telapak kakinya dari panas aspal. Kedua tangannya kaku, menahan berat belasan kotak nasi pesanan Bu Andi. Bebannya masih ditambah dengan menggendong Alya yang baru genap berusia setahun bulan depan. Sedangkan Lisa, anak pertamanya, berjalan di samping sambil memegang ujung rok Eva.

Pandangan Eva nanar menatap sedan-sedan mewah yang silih-berganti melintas di jalan. Terbayang nyamannya berada di salah satu sedan itu. Pasti udara panas ini tak terasa, berganti dengan sejuknya hembusan angin AC.

Ah, tak usahlah sedan mewah, Eva akan sangat senang seandainya saja punya ongkos untuk menumpang ojek atau angkot. Sayang tak sepeserpun uang ada di dompetnya. Sejak suaminya tak lagi bekerja, usaha membuat nasi box inilah yang menjadi tumpuan hidup keluarga kecil Eva.

Pembayaran dari Bu Andi nanti sangat Eva harapkan untuk ongkos pulang. Bahkan Eva sudah berjanji dalam hati, setelah mendapatkan uang nanti, dia akan membelikan kue-kue dan minuman untuk Alya dan Lisa. Pasti mereka senang. Mereka anak-anak yang pintar dan sangat mengerti beban kedua orangtuanya. Sama sekali tidak rewel bahkan ketika harus berjalan kaki sejauh ini di tengah hari.

“Bun, haus…” Lisa menarik baju Eva perlahan.

Eva menghela napas. Dia meletakkan plastik besar di atas trotoar, lalu merogoh tas slempangnya. "Ini, sayang...,” Dia menyodorkan botol berisi air putih.

Lisa meneguknya cepat. Kelihatan sangat menikmati air yang membasahi bibirnya." Sudah, Bun. "

Eva sedang memasukkan botol ke dalam tas, saat sebuah sedan hitam mengilat berhenti tepat di sisinya.

Jendela mobil berwarna gelap itu terbuka. Seraut wajah muncul. " Eva, ya...?” tanya pria itu ragu.

Eva tertegun mendengar namanya dipanggil. Perlahan dia mengangkat wajahnya. Belum pernah Eva sekaget ini. Wajah itu sangat dikenalnya. Wajah yang pernah mengisi hatinya bertahun-tahun yang lalu.

Eva mengerjapkan mata beberapa kali. Barangkali panas matahari ini menimbulkan efek halusinasi atau fatamorgana? Entah apa namanya, yang jelas kondisi melihat sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Tapi tidak, setelah matanya terbuka kembali wajah itu masih ada. Raut yang sangat dikenalinya. Paras yang tidak berubah, bahkan setelah lima tahun mereka tak saling berjumpa. Wajah seorang pria dengan hidung yang tinggi, rahang yang kokoh dan tarikan bibir tegas, dihiasi mata yang selalu berbinar ramah. Ah, bukankah dia tinggal nun jauh di Amerika sana?

“Ricky...?”

“Ya, ampun. Eva, apa kabar,” Ricky segera turun dan menjabat tangan Eva erat.

"Kabar baik." Eva berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Ini sungguh waktu yang sangat tidak tepat untuk bertemu dengan mantan pacar.

“Kamu mau kemana?” tanya Ricky lagi dengan tangan masih menggenggam jemari Eva.

“Eh… aku… mau ke.. Jalan Wijaya Kusuma,” Eva berusaha fokus. Dia menarik pikirannya kembali ke dunia nyata. Mengusir bayang-bayang masa lalu yang sekejap mampir di benaknya. Dengan halus dia berusaha membebaskan tangannya dari pelukan jemari Ricky.

“Ayo aku antar. Kebetulan kita searah. " Senyum mengembang di wajah Ricky. Wajahnya sumringah seperti orang yang menemukan sebongkah berlian. Senyum yang dulu sangat lekat di hati Eva.

Keraguan mampir di hati Eva. Sungkan rasanya harus semobil dengan Ricky. Tapi dengan menerima tawarannya, berarti ia bisa sampai lebih cepat di rumah Bu Andi. Lebih cepat pula menerima pembayaran pesanannya. Dan anak-anaknya tidak perlu susah berjalan di tengah panas matahari lagi. Eva bimbang.

Mantan Terindah Eva Donde viven las historias. Descúbrelo ahora