Transfer Sepuluh Juta

18 0 0
                                    

"Kamu boleh mengembalikan uang itu dengan syarat berhenti bilang terima kasih.”

Gelak kecil terlepas dari bibir Eva. Kecemasannya langsung menguap. Dari dulu Ricky memang sering bercanda. Ada-afa saja ulahnya yang bikin Eva tergelak. 

Ternyata, itu permintaan Ricky. Pipi Eva terasa hangat karena malu, sudah menyangka Ricky akan meminta yang tidak-tidak. Untung saja Ricky tidak ada di depannya, kalau tidak pria itu pasti bisa melihat wajahnya yang merona. 

“Kamu tidak berubah. Tawamu masih seperti dulu. Merdu,” ucap Ricky lagi memuji.

Pipi Eva yang tadi menghangat kini kian terasa panas. Setiap kata-kata yang terucap dari pria itu mampu melambungkan hatinya jauh tinggi hingga ke awan. Seandainya pujian itu datang dari Ferdi, suaminya sendiri. Pasti Eva akan jauh lebih bahagia. Ah, Eva menggeleng cepat. Tidak baik membandingkan suami dengan orang lain. Apalagi mantan pacar. 

“Kalau itu yang kamu inginkan, baiklah aku tidak akan bilang terima kasih lagi,” ujar Eva, pura-pura tidak mendengar pujian Ricky.

“Nah, gitu dong. Kan jadi lebih enak. Tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Kita 'kan..." kata-" kata Ricky terhenti sejenak. "Teman lama." lanjutnya. 

Eva tersenyum. Menduga Ricky bermaksud berkata mantan pacar. Tapi tidak jadi. 

“Ya, tapi aku ganti kata terima kasihnya jadi thank you," canda Eva. 

Pria itu ganti tergelak. Eva terpana. Tawa kamu juga tidak berubah. Masih sama seperti dulu. Tawa yang pernah memeluk hatinya dulu. Hangat.

“…. Va. Eva?”

“Oh, ya kenapa?” sahut Eva. Rupanya Ricky sempat berkata-kata saat pikiran Eva melayang ke masa lalu. 

“Nah, ketahuan. Melamun ya…”

“Eh... Enggak kok. Aku sedang membalik ayam goreng,” kilah Eva yang tidak ingin Ricky tahu kalau dia sempat melamunkan tawanya tadi.

“Ya, ampun. Kamu bicara denganku sambil menggoreng ayam? Benar kata orang, wanita adalah mampu memecah konsentrasi. Mampu mengerjakan beberapa tugas seksligus. Benar-benar multi tasking. ”

“Bisa karena biasa, Rick ,” kalau saja Ricky bisa melihat senyum kecut di wajah Eva. Dia minder. Mungkin teman-teman wanita Ricky biasanya menelepon sambil menata rambutnya di salon, menjelang boarding di bandara atau mungkin saja sembari berbelanja barang-barang mewah di mall. Kegiatan yang lazimnya dilakukan para sosialita. Bukan seperti Eva yang sedang berkutat di depan kompor. “Maaf ya. Bukannya menganggap kamu enggak penting, tapi aku harus menyiapkan pesanan catering untuk nanti malam.”

“Ah enggak pa-pa lagi. Justru aku jadi engak enak, mengganggu kesibukan kamu. Tapi dari dulu kamu memang selalu mampu mengerjakan dua atau tiga kegiatan dalam satu waktu. Dan hasilnya juga oke semua.”

Ah melambung hati Eva mendengar pujian dari mantan pacarnya itu. Tidak seperti suaminya yang pelit mengeluarkan kata-kata indah seperti itu. Sepanjang ingatan Eva hanya bentakan dan makian yang diterimanya dari Ferdi. Tuh 'kan lagi-lagi dia membaringkan Ferdi dan Ricky. 

Pujian-pujian dari Ricky benar-benar seperti hujan yang membasahi hati Eva yang gersang. Muncul godaan di hatinya untuk berlama-lama ngobrol dengan pria itu, tapi ingatan akan kewajibannya menarik Eva dari dunia imajinasi kembali ke kenyataan. Tanggungjawabnya sebagai wanita yang masih berstatus istri sah Ferdi. Ingatan akan dua putri cantiknya serta dompetnya yang kosong membulatkan tekad Eva untuk menyudahi percakapan yang membahagiakan ini.

Mantan Terindah Eva Where stories live. Discover now