Tentang Nilai

5 2 0
                                    

Kaus hitam, celana hitam pendek selutut, serta topi navy menemani langkah Putra keluar dari kamar. Niatnya malam ini cowok itu akan pergi ke depan komplek, membeli sebungkus martabak manis kesukaannya. Karena sedang belajar untuk persiapan olim, Putra sedikit merasa lapar.
Saat melewati ruang keluarga, langkahnya sontak terhenti. "Putra, mau kemana kamu?" Mami bertanya. Di sana, Mami sedang duduk santai dengan pilus kesukaannya, menonton serial televisi bersama Sera yang ikut serta di sampingnya.
Sera ikut melirik, menunggu jawaban sepupunya itu. Iya, memang malam ini Sera sudah mulai tinggal di rumah Putra.
Putra sedikit bergumam sebelum akhirnya ia berbicara juga. "Mau ke depan, beli martabak."
Mami mengangguk-angguk saja karena matanya masih fokus menatap layar televisi. Sementara Sera mengangkat kedua alisnya kala Putra menatapnya. "Ikut nggak?" ajak Putra. Sera menggeleng malas. "Lo aja sana, gue mau nemenin Tante Lisa aja di sini," jawabnya.
Putra mengangkat jempol kanannya. Setelahnya lelaki dengan setelan santai itu berjalan keluar rumah. Udara malam ini sangat segar sekali. Dingin yang langsung menusuk kulit Putra bahkan setelah dirinya memutuskan untuk memakai hoodie hitam yang tersampir di kursi depan rumah.
Dengan sedikit menggigil, Putra meneruskan perjalanannya ke depan komplek. Putra memang memutuskan untuk tidak membawa motor atau mobil, karena jarak rumahnya dengan gapura depan komplek cukup dekat. Hanya dengan jalan kaki saja Putra bisa sampai dalam beberapa menit.
Hingga sampailah Putra di sini, suasana depan komplek yang memang selalu ramai jika malam begini. Sudah seperti pasar malam saja karena banyaknya gerobak pedagang kaki lima, dan ramainya orang yang mampir untuk membeli jajanan di sana. Putra mencari gerobak martabak manis langganannya itu.
"Yow wassapp Mas Raja!!"
Putra terkekeh mendengar Om Bewok, si pedagang martabak manis langganan Putra memanggilnya dengan girang. Putra mungkin sudah melewatkan beberapa bulan dengan tidak mampir membeli dagangan Om Bewok di sini, makanya ada sedikit rasa kangen mengobrol dengan Om Bewok rasanya.
"Apa kabar Om?" tanya Putra, duduk di salahs atu kursi khusus para pembeli.
"Ya, saya mah baik-baik aja selalu, Mas. Masnya tuh apa kabar? Nggak pernah keliatan ama mata saya nih udah dua bulan. Saya sempet ngira Mas Raja berpaling ke martabak lain."
Putra terkekeh lagi. "Saya emang lagi banyak urusan abis masuk SMA ini, Om. Jadi sedikit lebih sibuk. Tapi yaelah, Om. Mana mungkin saya berpaling. Martabak Om Bewok kan udah yang paling oke!!" katanya sambil mengacungkan dua jempolnya ke udara. Tentulah Om Bewok langsung salting tujuh keliling.
"Pesen apa nih? Kayak biasa atau yang luar biasa?"
Putra tertawa lagi. "Yang luar biasa dooongg! Saya tunggu di sana ya, Om. Mau beli telur gulung dulu," kata Putra, menunjuk gerobak telur gulung yang sepertinya baru join berdagang di sini, karena Putra baru tahu ada yang jualan telur gulung di sini.
"Siaapp, amaann!" ujar Om Bewok kembali memfokuskan diri pada adonan martabaknya lagi.
Putra bergegas menghampiri gerobak telur gulung di sana. Memesan jajanan enak itu seporsi untuknya. Langsung jadi, dan Putra memakannya dengan khidmat sendirian. "Beuh, mantap juga gua jajan sendiri gini," gumamnya bermonolog.
Baru Putra ingin menghampiri gerobak Om Bewok lagi, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Seseorang meneleponnya. Itu Giu. Putra mengangkat sambungannya. "Halo, Gi? Kenapa?"
"Arah jam sembilan, gue ada di sana. Mobil fortuner hitam, gue di dalamnya."
Putra mengerutkan dahi, mulutnya masih sibuk mengunyah telur gulung, tapi matanya menelusuri jalanan. Putra membalikkan badan, mengarahkan badannya ke arah jarum jam sembilan, dan menyipitkan matanya saat menemukan mobil Forturner hitam terparkir di sana.
Buru-buru Putra berlari menghampiri mobil itu. Kaca mobil belakangnya terbuka, menampilkan wajah cantik Giu yang tersenyum lebar di sana. Giu melambaikan tangannya. "Hai!" sapa gadis itu riang.
Putra tak membalas. Tapi Giu membuka mobilnya dan menyuruh cowok itu masuk. Putra menurut saja, masih sibuk mengunyah telur gulungnya, Putra mengernyit heran. "Lo ngapain di sini?"
Giu memeluk boneka beruang yang entah kenapa ada di mobilnya itu. Giu tersenyum. "Supir gue lagi beli martabak di depan sana, katanya dia lagi pengen makan martabak. Jadi, yaudah gue nunggu dia selesai beli di sana. Terus gue liat lo lagi jajan juga di sekitar sini, jadi gue telfon lo."
Putra mengangguk-angguk paham. Giu terlihat cantik sekali malam ini. Entahlah, mungkin gadis itu baru saja selesai photoshoot? Mengingat dirinya adalah model remaja terkenal, juga kerja sampingannya yang padat itu.
"Lo habis photoshoot?"
Giu mengangguk. "Iya, baru pulang," jawabnya. Kemudian wajah tersenyumnya tadi langsung berubah murung saat dirinya membuka ponsel. Giu menghela napas, menunjukkan layar ponselnya pada Putra.
"Gue mau nunjukkin lo ini," ujar Giu. Putra memperhatikan layar ponsel itu dengan saksama. Sebuah akun menfess sekolah mereka terpampang di sana. Dan cuitan dari base itu, serta beberapa komenan yang merujuk pada kejahatan.
"Semua orang udah di tahap ngomongin Sera. Gue jadi khawatir sama Sera, dia pasti sakit hati banget baca komentar-komentar jahat orang-orang di luaran sana. Gue udah sering ngerasain ini, jadi gue takut Sera kepikiran dan jadi murung," ucap Giu lirih.
Putra menghela napas saja. Bingung juga mau bereaksi seperti apa. Karena seperti yang Giu bilang, memang kenyataannya, semua orang sudah saling mengirim ujaran kebencian pada teman mereka itu. Meski apa yang terjadi pada Sera adalah bukan suatu kesalahan, tapi semua orang telah menganggap Sera buruk. Entah karena baru kali ini ada salah satu dari top five yang turun peringkat, atau memang karena mereka benci saja pada Sera.
Benci yang mereka pun tak ada yang tahu datangnya dari mana.
"Dan lo harus liat ini." Giu mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. "Ini akun Arabella. She's a crazy girl. Beneran gila, karena semua tweetnya itu omong kosong. Kayak lo liat ini, dia ngaku-ngaku di kelas Alcen banyak yang suka sama dia, dan dia ngaku-ngaku duduk sama Nathan, dia juga bilang kalau nilai harian pelajaran olahraganya bagus padahal selama ini dia bolos pelajaran olahraga di UKS?? What does that mean?"
Putra berdecak heran. "Wahh, cewek gila," katanya. Tak mampu berbicara panjang dengan informasi yang Giu berikan itu. Setelah dirinya melihat sendiri bagaimana isi cuitan di akun Arabella yang seakan dirinya sempurna padahal di kelas Alpha Centauri, Arabella tak pernah mereka anggap ada.
"Right?" Giu menyandarkan tubuhnya di jok mobil itu. Napasnya hampir tidak beraturan karena tadi dirinya dengan bersemangat memberi tahu perihal Arabella dan sifat gilanya itu kepada Putra.
Melihat Putra memakan sesuatu di tangannya, Giu menoleh. Penasaran dengan apa yang Putra makan sedari tadi. "What's that?"
Putra berhenti mengunyah. Satu tangannya yang menggenggam seplastik telur gulung itu diarahkan ke Giu. "Ini?" Giu mengangguk. "Ini telur gulung. Mau?"
Giu malah mengernyit sekarang. "Telur gulung? Telurnya digulung?" tanya gadis itu heran. Putra mengangguk. "Iya, lo nggak tau?" Giu menggeleng sebagai jawaban. Jawaban yang berhasil membuat Putra ternganga, lalu terkekeh. "Lo beneran nggak tau ada jajanan se-enak ini di Indonesia, Gi?"
Giu mengangkat satu alisnya. "I even just heard that name now. Telur gulung? Itu aneh. But, let me try it." Giu menengadahkan tangan kanannya ke arah Putra.
Putra tahu Giu anak konglomerat, tapi masa iya jajanan telur gulung seperti ini saja Giu baru dengar namanya? Setidaknya, jika orang seperti Giu tak pernah mencoba, maka mendengar namanya seharusnya sudah tidak asing lagi karena sudah banyak orang tahu tentang jajanan ini. Sebenarnya Giu hidup di zaman apa?
Putra tertawa saja. Tawa yang membuat Giu kesal. Cowok yang masih memakai topi navy itu terkekeh lagi melihat wajah kesal Giu. "Lo mau ngasih gue nggak sih, Put?" kesal Giu.
Putra mengangguk. "Mangap," suruhnya.
Giu membuka mulutnya. Putra menyuapkan satu tusuk telur gulung itu untuk Giu. Sedikit membantu Giu membersihkan saus yang menempel di dagu gadis itu pelan.
"Enak nggak?" tanya Putra. Giu bergumam sebentar, alisnya mengerut merasakan kecapan telur gulung yang meluber di dalam mulutnya itu. Oh, rasanya seperti telur biasa. Tapi ada sedikit rasa manis entah apa itu.
Giu mengangguk saja. "Rasanya kayak telur."
Jawaban Giu sontak membuat Putra lagi dan lagi tertawa puas. "Gi, ya ampun. Iya lah kayak telur. Kan emang namanya juga telur gulung," ujar Putra refleks mendapat pukulan kecil dari Giu di lengannya.
Saat itu, pintu depan mobil terbuka. Supir Giu yang tadi Giu katakan sedang membeli martabak akhirnya kembali. Pak Joko namanya. Pak Joko langsung memasang muka kaget saat melihat keberadaan Putra di sana.
"Astagfirullah," ucapnya sambil memegang dada. Pak Joko langsung beralih menatap Giu, meminta penjelasan dari majikannya itu. Giu terkekeh saja. "Ini Putra, Pak. Temen sekelas Giu. Tadi kebetulan Putra ada di sekitar sini, jadi Giu panggil ke sini hehe," jelas gadis itu.
Pak Joko terlihat menghela napas. "Ya Allah Neng, kirain Bapak teh saha. Kirain teh si Eneng di culik kitu sama budak nyaho kieu."
Giu dan Putra tertawa kecil. Merasa canggung tiba-tiba karena rasanya seperti sedang dipergoki di mobil berdua. Pertanyaan selanjutnya dari Pak Joko bahkan membuat keduanya saling pandang canggung lagi.
"Eh, tapi kalian nggak ngapa-ngapain, kan?"
Putra dan Giu langsung menggeleng kompak. "Enggak, Pak. Giu sama Putra beneran cuma ngobrol doang kok tadi, sama tadi Giu coba makan telur gulungnya Putra," kata Giu berusaha meyakinkan supirnya itu.
Pak Joko memasang muka curiga. Pria paruh baya itu menyipitkan mata kala menatap Putra yang membuka mulut untuk memakan telur gulungnya lagi. Putra yang mendapat tatapan seperti itu pun langsung tidak jadi memasukkan telur gulungnya ke dalam mulut.
Dengan hati-hati, Putra menyodorkan plastik telur gulungnya ke arah Pak Joko. "Bapak mau telur gulung?"


Alpha CentauriWhere stories live. Discover now