Seek the Truth

4 2 0
                                    

"Giudith Azalea, seorang model majalah remaja yang baru menduduki semester pertama masa Sekolah Menengah Atasnya dikabarkan terkena skandal berat. Pencurian yang dilakukan—
Klik!
Giu mematikan siaran televisi yang sempat ia tonton beberapa detik itu. Di beberapa stasiun televisi, berita yang mengumandangkan namanya itu telah muncul sejak semalam. Dan pagi
ini, Giu memastikan semuanya musnah. Tapi tetap saja berita itu masih ada, seolah keberadaannya menjadi topik panas minggu ini.
"For real, ini bener-bener gila. Mereka maunya apa sih?" kesal Giu menaruh remote televisi yang ia genggam tadi ke atas meja.
Mbak Uci telah memberitahunya bahwa berita itu telah menyebar ke seluruh Indonesia. Bahkan Mom dan Dadnya sudah mengetahui hal ini. Tapi Giu sedikit tenang ketika Mbak Uci bilang, Mom dan Dadnya percaya kalau ia baik-baik saja di sini.
Namun firasat orang tua memang tak pernah salah. Giu mengkhawatirkan hal ini, maka kedua orang tuanya pun merasakan hal yang sama. Beberapa menit kemudian, Giu dikejutkan dengan bunyi dering ponselnya.
Itu Mom. Benar, Mom meneleponnya pagi ini.
Giu ragu untuk membalas. Tapi ia juga tak ingin membuat Mom lebih khawatir jika ia tak membalas panggilannya. Lalu diambilnya ponsel itu dan mengangkat telepon Sang Ibu kemudian.
"Hai, Mom?" Giu berusaha menormalkan suaranya agar tak terdengar aneh di sana.
"Oh ya ampun sayang .... dari mana saja kamu? Mengapa Dad meneleponmu tiga kali semalam tidak kamu balas?"
Giu terkekeh pelan. "Ah, maaf Mom, Dad. I've got schoolwork to do."
"Are you okay?" kini suara Dad yang terdengar dari seberang sana. Giu menggigit bibir bawahnya pelan. Bagaimana sekarang? Apa ia harus tetap berbohong dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja meski kenyataannya tidak demikian?
"Eumm." Giu menggumam pelan. Bagaimana cara mengatakannya pada mereka? Giu bingung.
"We know, sayang. Kita tahu semuanya, that's why we're calling you now. Mau cerita sama kami? Mom and Dad selalu di sini, kami akan mendengarkan kamu apapun itu," kata Mom dengan suara yang kelewat lembut.
Giu jadi terisak sekarang. Gadis itu menyandarkan tubuh di sandaran sofa empuk ruang keluarga yang sepi. Sambil menahan tangis dan rindu kepada kedua orang tuanya, Giu mencengkeram ponsel yang ia dekatkan ke telinga bagian kanannya.
"Mom .... Dad .... aku minta maaf," cicit Giu pelan.
"No, no need sorry. Dad yakin kamu nggak akan berani melakukan hal itu. Kalaupun benar, kamu pasti punya motif yang jelas kan? Tapi tidak. Dad tetap tidak percaya pada berita bohong seperti itu."
"Mom juga. Giu anak Mom yang baik, pintar, dan Mom yakin Giu mustahil melakukan hal itu. Benar kan, sayang?"
Giu memejamkan matanya. Rasanya susah untuk bercerita perihal bagaimana hari-hari buruknya tanpa sosok Mom dan Dad di sisinya ini. Giu merasa lebih banyak hal tak mengenakkan saat dirinya tak bersama Mom dan Dad di sini.
Giu butuh mereka berdua untuk hadir hari ini juga di sampingnya, memeluknya, dan memberikan kalimat-kalimat penenang itu langsung di hadapannya. Bukan via panggilan suara seperti saat ini.
"Giu sayang ... it's okay kalau kamu masih belum mau bercerita kepada kami—
"Bukan Giu yang melakukannya." Giu menyela kalimat Mom dari seberang sana.
"Giu difitnah. Giu dijebak, tapi Giu juga nggak tau siapa yang melakukan hal sejahat ini sama Giu. Giu bingung karena tiba-tiba aja kotak perhiasan milik Arabella ada di loker milik Giu. Giu bingung, Mom ... Dad ... Giu bingung harus apa. Giu nggak tahu—
Giu terisak saat menjelaskan semuanya pada kedua orang tuanya di sana. Terdengar hembusan napas lega dari wanita dan pria di seberang sana. Keduanya lega ternyata benar apa yang mereka duga tentang masalah anaknya ini.
"Dad sama Mom percaya kamu, sayang ... sekarang denger Dad ya, Giu," kata Dad mulai angkat bicara. Giu menghentikan isakan tangisnya.
"Kamu mau Dad ikut urus masalah ini nggak, sayang? Nanti Dad ambil pengacara khusus buat kamu."
Giu langsung menggeleng. "No need, Dad. Aku sama temen-temen yang lain bisa selesaiin ini sendiri. Temen-temenku punya solusi bagus untuk ini, kami sedang mencari bukti kuat yang ada di sekolah. Sepertinya jika Mom dan Dad ikut campur, akan jadi masalah besar mengingat kalian berdua punya nama yang cukup besar juga di sini."
"Baiklah, Dad mengerti."
"Oke sayang, kami percaya denganmu," imbuh Mom. "Tolong kalau ada apapun yang kamu butuhkan, segera telepon Mom atau Dad yaa sayang, kami akan berusaha untuk membantumu apapun itu."
Giu mengangguk samar. Meski gerakannya tak terlihat oleh kedua orang tuanya di sana, tapi sepertinya mereka tahu Giu paham maksud mereka. Maka setelah sesi panggilan itu berakhir, Giu merebahkan tubuhnya ke sofa.
"Ya ampun, i miss my Mom and Dad," ujarnya sedikit cemas.
Giu tahu walaupun respon yang kedua orang tuanya berikan padanya adalah baik-baik saja, tapi Giu yakin keduanya juga mencemaskan hal ini. Perasaan Giu bukannya lega, tapi jadi makin cemas setelah ini. Meski Sang Ayah mengatakan bahwa dirinya tak akan ikut campur urusan ini, Giu tak percaya.
Giu tahu Dad kesayangannya itu akan melakukan sesuatu juga pada akhirnya.
Maka setelahnya, Giu kembali mendudukkan diri. Menyambar ponselnya lagi dan mengetikkan sesuatu di atas layarnya. Dengan cepat, Giu kembali menempelkan layar ponselnya ke bagian telinga kanan gadis itu lagi.
Giu menelepon seseorang. Cukup lama sampai orang itu membalas panggilan Giu. Dan ketika panggilan mereka tersambung, Giu langsung berbicara.
"Putra, please do something. Beritanya udah sampai ke telinga Mom and Dad. Gue takut mereka ngelakuin sesuatu duluan untuk ini ...."



Alpha CentauriWhere stories live. Discover now