A 'Once Upon A Time'

18.5K 1.2K 85
                                    


"Once upon a time there was what there was, and if nothing had happened there would be nothing to tell." Charles de Lint



Jakarta, November 2018.


"Emangnya Bapak ada minta ganti, Man?"

Aku tengah membolak-balik dengan cepat tumpukkan print-out kertas-kertas yang diberikan oleh Iman. Lelaki itu baru saja memasuki ruanganku ketika aku juga baru saja akan berkemas setelah selesai menerima telepon dari manager produksi untuk evaluasi project Hygen Speed Challenge yang baru selesai tiga hari yang lalu. Iman membawa setumpuk kertas-kertas report summary of event yang kemarin aku letakkan di meja Pak Andaka—Sang pemilik perusahaan Hygen Kamajaya ini dan langsung menyerahkannya kepadaku tanpa banyak omong.

"Dari Pak Angga, Gem. Dia minta kamu cek lagi lembar kelima belas, nanti dia telepon kamu sendiri," ucapnya dan masih betah diam berdiri menjulang di depan meja kerjaku.

Oh... Boss-ku yang satu itu, salah satu anak lelaki Pak Andaka yang bekerja penuh dedikasi untuk perusahaan ini sejauh pengelihatanku semenjak empat tahun yang lalu aku menjadi Project Manager di Hygen Kamajaya. Biasanya memang aku harus melewatinya lebih dulu sebelum meletakkan report-ku untuk sampai ke meja Pak Andaka, namun kemarin Iman sendiri yang berkata kalau Pak Angga minta aku meletakkannya langsung di meja Sang Ayah, karena satu dan dua hal di mana sepertinya dia tidak bisa memeriksa hasil summary-ku.

Sedikit memejamkan mata setelah melihat led wood clock di atas meja yang sudah menampilkan angka 20.58 PM yang mana ini sudah lebih terlambat dari waktu selesai kantor, walaupun aku masih bisa mendengar suara-suara berisik di luar sana, berarti anak-anak tim-ku yang lain juga masih ada di ruangan mereka, apa mungkin karena hujan di luar mereka memilih stay di kantor? Sebenarnya aku lebih suka berada di kantor dan bekerja saja, tapi entah kenapa hari ini aku rasanya ingin segera mencapai kasurku lebih cepat berhubung di luar sana hujan deras dan meningkatkan hawa-hawa untuk bermalas-malasan atau tidur nyenyak.

Aku sedikit melirik Iman yang tak juga berbalik ke luar setelah aku menganggukkan kepala, paham untuk perkataannya barusan bahwa nanti Pak Angga akan meneleponku yang berarti aku harus masih stay di sini sampai telepon di mejaku berdering. "Ada lagi?" tanyaku dengan ragu.

Lelaki itu menggeleng perlahan. "Itu aja. Ya udah, Saya keluar, ya," pamitnya dan tak lama benar-benar berbalik meninggalkan ruanganku.

Setelah mendengar suara pintu tertutup, aku menekuni lembar kertas yang ada dalam genggamanku seperti informasi dari Iman tadi bahwa di lembar kelima belas harus kembali aku periksa, secara tak langsung ada sesuatu yang mesti aku benahi. Tak lama aku tenggelam dalam kata demi kata pada lembar tersebut, suara pintu terbuka mengejutkanku karena pintu itu berayun dengan cara yang sangat tak halus.

"Ngapain si Iman ke sini?" Seorang wanita muda dengan blouse kuning berbordir bunga matahari di kantung bajunya sedang berlari-lari kecil dari pintu ruangan yang baru saja tertutup untuk menghampiri mejaku. KalanaSekretaris para direksi yang menjadi satu-satunya wanita yang berani merecokiku di kantor, masuk tanpa mengetuk ataupun memberi salam barang sedikit saja seperti biasa.

Aku dan Kalana memang berteman baik semenjak aku bergabung di perusahaan ini, Kala begitu aku memanggilnya, adalah wanita periang yang sesungguhnya definisi makhluk sosial secara nyata karena dia sangat suka bergaul, yang dalam artian semua orang bisa diajaknya berbincang sampai aku ragu kalau satu gedung ini tak mengenal wanita ini. Tapi sayangnya, Kala yang pandai bergaul itu justru harus bekerja seorang diri di satu ruangan yang berada tepat di depan ruangan direksi Pak Andaka karena dirinya harus mengurus segala hal administrasi dan sedikit jadwal para direksi, itu pun bagiku dia sudah banyak terbantu oleh Iman yang lebih banyak mengatur jadwal boss-boss kami, lebih runcing lagi, lebih seringnya Pak Angga.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now