Roundabout

4.5K 677 22
                                    


"It is not very pleasant to realize that to you it was only an episode."— Kitty Fane


Jakarta, Desember 2018

"Kayaknya aku mau ulang tahun di Singapore aja Februari nanti, to end my twenties." Mama menjerit girang di seberang sana ketika aku mengatakan kalimat itu. Aku sedang ada di sambungan telepon dengan Mama setelah selesai meeting dengan Pak Angga dan tim management lainnya. Wireless earphone-ku terpasang di telinga kanan dan suara Mama menyahut sejak tadi kami terhubung. "Awal tahun nanti aku mau ajuin cuti deh," infoku lagi setelah kemarin-kemarin aku sudah memperhitungkan beberapa pekerjaan yang sekiranya datang di awal tahun depan, dan setelah meeting tadi keinginanku sudah semakin absolut untuk bisa berlibur sebentar ke Singapore dan bertemu Mama dan Gania di sana, bahkan aku sudah berencana membicarakan ini dengan Ghava juga, dia pasti ingin ikut denganku.

"What a glad tiding! Mama udah kangen banget sama kamu," nada girang beliau semakin menjadi setelah aku mengatakan akan mengajukan cuti di awal tahun nanti. Semoga saja, semoga tim-ku berkenan untuk bisa membantuku mendapat hari liburku dengan pekerjaan mereka yang baik. "Ajak Nana sama Ajeng, Gem," pinta Mama padaku.

Ingin sekali aku mengajak mereka sebenarnya, namun Nana sudah sulit sekali aku ajak berpergian dengan pesawat sejak pertengahan tahun ini. Entahlah ada saja alasannya, padahal kami hanya tinggal duduk di pesawat dan sesampainya di bandara akan dijemput Mama atau Didi. "Belum tahu, nih. Kan Mama tahu sendiri Nana udah susah buat diajak jalan-jalan," belum bisa memberikan beliau janji yang bisa aku tepati, lebih baik aku cari aman saja.

Terdengar hembusan napas kecewa di seberang sana, menyadarkanku kalau Mama sebenarnya amat sangat merindukan Nana. "Harusnya emang Mama sih yang pulang ke Jakarta buat tengokin kalian sering-sering," lirih beliau sendu.

Berbeda denganku yang tidak ingin pindah dari Jakarta, Mama justru lebih sulit untuk tinggal di sini. Kami sama-sama punya alasan untuk perihal-perihal yang membuat kami membuat dan juga menentukan keputusan besar itu, dan kebetulan keputusan kami yang satu itu berbeda, meskipun tujuan kami sama, we just don't wanna holding onto things that kept hurting us.

"Think nothing of it, Mam. Nana paham, kita semua paham, don't blame yourself, anymore," Aku yang sedang menarikan jari-jemariku di atas keyboard, menghentikan kegiatanku. Kami sama-sama terdiam setelah kalimatku selesai terucap, beberapa lama sampai aku bisa mendengar suara napas Mama di seberang sana.

"Ya udah, udah malam, finish your job and go home safely, Gem." Mama mengakhiri sambungan kami setelah kami memberi jeda perbincangan kami tadi, untuk sama-sama tenggelam dalam pikiran kami. Dengan suasana hati yang terlanjur terbawa dengan reaksi Mama, aku melepas earphone-ku dan meletakkannya di atas meja setelah sambungan kami benar-benar terputus.

Tiba-tiba saja hatiku jadi sama tak nyamannya, seolah perasaan yang Mama rasakan tertular ke padaku. Hidup ini sulit, untuk semua orang. Itu yang sering aku baca di postingan akun-akun yang sering membagi kalimat-kalimat bijak yang terkadang memang sangat terikat dengan setiap manusia. Ya, hidup ini sulit, sama seperti semua orang, itu juga sulit untuk Mamaku. Terkadang aku bertanya-tanya kenapa kita harus menerima kenyataan dengan terus hidup dalam penyesalan? Padahal yang sudah berusaha berjuang menerima bahkan bisa kelelahan. More older, more colder, semakin dewasa, semakin menua bahkan bukan artinya kita bisa secara langsung bisa tahu jawaban atas segala hal tentang kehidupan ini, justru kami semakin tersesat dan memilih untuk berpura-pura saja.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now