Fallacy

5.2K 786 22
                                    


"Girls aren't very good at keeping maps in their brains." — Edmund,

"That's because we've got something in them."— Lucy



Jakarta, Desember 2018.

"Hai, Mam!" sapaku pada sambungan video di layar ponsel yang aku letakkan di car phone holder yang aku tempel di dekat setir mobil. Ada wajah Mamaku dengan pita biru polkadot menghiasi rambutnya yang dikuncir kuda. Masih terlihat cantik meskipun kerutan-kerutan tipis di bawah matanya semakin terlihat jelas.

"Gem! Mau kemana?" tanya beliau yang sepertinya juga sedang berkegiatan di tempatnya sekarang, karena kamera yang menampakkan gambar pada layarku bergoyang beberapa kali.

Aku tersenyum tipis melihat Mama yang sedang berjalan di sana, oh... aku merindukan beliau. "Baru pulang kerja, mau ke tempat Ghava mampir sebentar minta makan," sembari menunggu layar gambar Mamaku tidak bergerak lagi yang artinya beliau sudah berhenti dengan gerakan berjalannya dan wajahnyanya kembali tampak di layarku, aku mulai menyalakan mesin mobil. "Mama lagi ngapain?" Ini sudah malam, walaupun belum begitu larut karena di sini masih pukul 8 berarti di sana sudah pukul 9 malam, Mama masih terlihat sibuk dan bisa terlihat jelas juga kalau make-up beliau masih menempel pada wajahnya, yang artinya belum bersiap untuk istirahat.

"Baru pulang habis makan malam sama teman-teman Didi," Aku melirik sedikit ke layar ponselku sesekali membagi fokus dengan jalanan setelah mobilku ikut bergabung dengan kumpulan mobil-mobil lainnya di Jalan Casablanca menuju Rasuna Said untuk mencapai tempat Ghava. Mama sedang mengatur napasnya sepertinya kelelahan berjalan sampai aku bisa melihat beliau bersandar nyaman di punggung sofa sembari berceloteh dengan nada lelahnya.

"Jauh emangnya?" tanyaku mengingat Mama sangat senang berjalan kaki semenjak tinggal di Singapore sana bersama dengan Diditeman beliau yang kini menjadi Ayah tiriku.

Aku dibuat sedikit kesal karena jalanan mulai padat dan yang paling menyebalkan dari jalanan padat Jakarta di Jumat malam adalah saling berlomba-lomba menekan klakson mereka, seperti itu akan berpengaruh saja membuat jalanan seketika kosong melompong.

"Cuma di Whitley, nggak jauh. Mereka baru aja punya anak pertama dan adain semacam syukuran lah kalau kita biasanya, cuma di sini yaa dinning kekeluargaan aja." Kujawab dengan dehaman singkat karena fokus mencari celah agar mobilku bisa menyalip, sembari sesekali mengumpat kecil ketika mobil-mobil lainnya menekan klakson yang terdengar sekali seperti umpatan sang pemilik mobil. "Macet ya, Gem?" bahkan sepertinya Mama mendengar umpatan kecilku barusan.

"Lumayan padat, Mam. Kemarin Mama ketemu Gania, ya?" Aku teringat siang kemarin Gania memposting foto di instastories-nya bersama dengan Mamaku, sepertinya mereka bertemu untuk makan siang karena aku tidak sempat mengomentari postingannya terlanjur harus segera menghubungi orang untuk urusan pekerjaanku dan baru kembali mengingatnya sekarang.

"Iya, Mama ajak ketemu Gania kebetulan kemarin Didi buat pasta banyak banget, jadi Mama bagi-bagi aja termasuk ke Gania. Untungnya dia lagi di sekitaran Orchard jadi bisa mampir ke toko Mama," Mama dan Gania memang sering bertemu semenjak mereka tinggal di negara yang sama yang sedikit jauh dari kami di Jakarta. Gania yang semenjak lulus sekolah memilih untuk lanjut kuliah di Singapore sana justru keterusan setelah mendapat tawaran pekerjaan di sebuah grup perusahaan media komersial di sana yang seingatku berfokus di media cetak. Wanita itu memilih bekerja dan tinggal di sana dimana sesekali pulang ke Jakarta untuk menemui keluarganya dan juga kami, atau kami yang mengunjunginya di sana sekalian berlibur, begitupun dengan Mama dan Didi.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now