Red-Handed

3.6K 594 40
                                    


"Every time he said those words it was like a supernova of joy exploding inside me. I just didn't yet know that supernovas burn so brightly because a catastrophe is taking place. That lesson would come later."David Clawson


Jakarta, April 2019

"Ibu sudah merasa lebih baik sekarang?" Seorang dokter wanita menanyakan keadaan Nana yang masih bersandar pada bantalan kasur dan tidak terlihat begitu lemas semenjak bangun tadi pagi. Beliau sudah mengoceh untuk memakan segala buah yang tersedia di nakas samping kasurnya, dibantu olehku dan Ajeng.

"Sudah, Dok. Syukurnya," balas Nana dengan senyum yang cerah, beliau tidak sedikitpun terlihat sakit bahkan ketika aku memasuki kamar beliau saat Subuh tadi dan menemukan beliau tertidur seperti biasanya dengan Ajeng yang juga terpejam di atas sofa.

"Ini Dokter Ega, Bu. Beliau spesialis bedah jantung di sini," dokter wanita itu memperkenalkan seorang dokter lelaki yang terlihat masih muda dan tampan. Senyumannya saja terlihat teduh dan seketika membuat wajah semringah Nana terlihat.

"Pagi, Bu Wasista. Saya kebetulan dihubungi sama Re semalam, saya salah satu teman Re." Oh! Ini dia dokter yang Re bilang temannya semalam? Pantas terlihat masih muda, mungkin mereka seumuran.

"Oh... Nak Re, iya. Dia cucu dari teman baik saya dan almarhum suami saya," dengan semangat Nana menepuk kedua tangan beliau. "Wah, beruntungnya Nak Re punya teman dokter ya, terima kasih. Dokter Ega."

Dokter Ega tersenyum ke arah Nana dan matanya beralih kepadaku yang sejak tadi juga sedang mengamatinya. Aku sampai sedikit tergagap karena seperti ketangkap basah sedang memperhatikan lelaki itu, namun lelaki itu langsung memberikan aku senyuman kecil dan kembali beralih kepada Nana. "Bu Wasista, sudah tau kan kalau ada sedikit masalah berupa sumbatan aliran darah ke Jantung Ibu?" tanya dokter Ega dengan halus.

"Sudah saya jelaskan ke keluarganya juga, Dok." Sahut dokter wanita yang berdiri di sampingnya.

Aku mengangguk bersama dengan Ajeng. Tadi pagi, aku memang bertemu dengan dokter wanita ini dan diberikan penjelasan mengenai Nana dan jantung beliau. Ada beberapa zat yang disebabkan oleh kolesterol Nana sehingga membentuk sebuah plak pada dinding arteri jantung beliau yang untungnya tidak banyak sampai memenuhi dinding.

"Tidak perlu tindakan bedah ataupun pemasangan ring berhubung plak-plak yang ada tidak begitu memenuhi dinding saluran ke jantung Ibu." Wajah Nana tersenyum cerah mendengar penuturan dokter Ega. "Tapi, plak-plak itu masih dan tetap ada di sana, harus dihilangkan agar kedepannya tidak ada saluran yang tersumbat atau mengurangi pasokan darah yang bawa oksigen ke jantung Ibu."

"Kemarin saya bisa sampai pingsan gitu, Dok?" Nana bertanya dengan mimik penasaran.

"Beberapa ada yang seperti itu, Ibu merasakan nyeri di dada Ibu, tapi tanpa sadar ibu juga merasa pusing dan otomatis kerja jantung ibu bekerja lebih keras sampai rasanya Ibu kelelahan dan jatuh pingsan." Jelas dokter Ega lagi.

Aku, Ajeng dan Nana sama-sama menganggukkan kepala mendengar penjelasan dokter Ega barusan, rasanya aku mulai lebih tenang mendengar kabar itu setelah melihat secara langsung kalau Nana juga tidak benar-benar terkapar lemas tak berdaya di atas kasur.

"Karena Ibu Wasista kemarin sempat bilang kalau gejalanya hanya masuk angin, padahal hasil med-check terakhir sudah terlihat kalau kolesterol Ibu tinggi, ya?" Aku melirik ke arah Ajeng yang hanya melirikku sekilas dan dengan cepat mengembalikan atensinya kepada dokter wanita itu. Harusnya masalah kolesterol pun aku diberi tahu, setidaknya aku bisa berganti mengocehi Nana untuk menjaga pola makan beliau.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now