Romanicus

6.3K 749 21
                                    

[ To be read with an open hearted and minded. ]


"Those girls. The ones in all those books and TV shows. Some dumb high school girl falls in love with some supernatural guy, and he's all, 'Behold, I am five million years old!' and she's all, 'Oh my god, how can you ever love pathetic little me!' and he's like, 'Because of destiny!' or whatever. It's just so... ew. You know?" Margo



Jakarta, Desember 2018.

"Jadi lo belum ketemu sama si Vano abis lo diputusin itu?" tanya Kala yang sedang menyendok caesar salad dari atas piringnya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kirinya sedang menahan lembaran buku sebesar 20 cm berwarna merah muda yang tadi sempat aku lihat bergambar seorang wanita menggunakan mahkota dengan setelan kerja, apa maksudnya itu? Entahlah.

Setelah selesai meeting bersama Pak Andaka dan Pak Angga serta Pak Tarendra dari pihak Gameart, Kala dan aku pergi makan siang ke Kota Kasablanka dan berakhir di Nanny's Pavillon karena aku sangat ingin makanan manis dan di tempat ini punya baby dutch pancake mixed berries yang cukup untuk menambah kadar glukosaku, sedangkan wanita di depanku ini cukup dengan dedaunan yang diberi sedikit potongan roti dan keju itu.

Aku meliriknya yang bertanya tanpa menoleh, matanya sibuk membaca kalimat-kalimat dalam halaman buku yang lembarannya dibalik menggunakan jari-jari tangan kirinya. Polivalensi yang dimiliki oleh Kala patut aku acungi jempol. "Lo baca apaan, sih?" tanyaku penasaran dan mengabaikan pertanyaannya yang lagi-lagi membahas Vano karena aku sudah sangat enggan sebenarnya membahas lelaki itu lagi, untuk saat ini setidaknya.

"Novel, nanggung nih bentar lagi tamat," sebentar wanita itu mengangkat kepalanya sembari kembali menyuap sesendok saladnya kemudian fokus wanita itu kembali ke arah buku yang sedang dibaca.

Ck, mengenalnya lama aku tidak usah menebak lagi kalau novel yang dimaksud olehnya adalah novel romansa, percintaan orang dewasa di sebuah perkotaan, lebih runcing lagi di Jakarta. Iya, di kota yang sama dengan kami tinggal ini, ada dalam bentuk fiksi di dalam buku itu dan juga kini sudah berpindah tempat di dalam kepala Kala, menjadi sebuah imaji dan khayalan. "Ugh, another romance, huh?" kedua tanganku terlipat dan menyandarkan punggungku ke sandaran kursi.

Seumur-umur aku belum pernah berhasil menyelesaikan bacaan novel romansa semacam itu, berlatar dunia kita sendiri, apa tidak terlalu menggiring imaji menjadi lebih liar seperti kalau kita jatuh hati dengan karakternya, menganggap mereka hidup dan ada bersama kita di sini secara latar yang digunakan adalah apa yang sehari-hari kita lihat dengan kedua mata ini. Those characters will not only live in your imagination but also in your delusion, isn't it? No offense, but I'm just thinking realistically.

"Bagus tau, Gem. Tokoh cowoknya perfect banget," duh. Aku memutar kedua bola mataku setelah mendengar itu, apalagi dibuat sempurna, apa tidak terlalu berlebihan? "Jadi ceritanya si cewek ini anak kantoran, ketemu cowok anak kantoran juga. Nah yang bikin seru Gem, pertemuan-pertemuan mereka itu loh sampai akhirnya jadian," Kala mengoceh dengan senyuman girang, seolah sedang menceritakan kisah cintanya sendiri.

Sebelah alisku berkerut. "Terus tokoh ceweknya? Emang viewpoint-nya dari si cowok?" biasanya sesuai celotehan Kala disetiap buku yang dibacanya dari sudut pandang sang wanita sebagai tokoh paling utama, dan tadi dia hanya membahas sang tokoh lelaki, bagaimana dengan sang wanita?

"Dari si cewek, orangnya diceritain perfeksionis banget," aku manggut-manggut mendapat informasi itu. Aku tidak tertarik sama sekali dengan kisah-kisah romansa orang lain, terlebih itu fiksi yang hanya dibuat oleh sang penulis untuk dihidupkan di dalam kepala para pembaca. Sudah cukup buku-buku dongeng yang dibelikan orang tuaku saat aku kecil kubaca habis setiap malam, jika memang itu membawa sebuah imajinasi lebih baik membaca buku-buku fiksi fantasi yang setidaknya sejak halaman awal kamu tahu kalau itu tidak nyata dan tidak akan pernah menjadi nyata.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now