White Hat

5.1K 754 22
                                    


"You seemed so far away." — Miss Honey

"Oh, I was. I was flying past the stars on silver wings, it was wonderful." — Matilda


Jakarta, Desember 2018.

"Pokoknya Sabtu besok harus ke sini ya, Gem. Temani Nana ada undangan makan malam dari teman Yangki dulu. Mereka pernah bantu kita dulu."

Itu kalimat yang diucapkan berkali-kali sejak kemarin aku datang ke rumah Nana sampai tadi aku sudah masuk ke dalam mobil untuk kembali ke apartemen. Sudah lama sekali aku tidak menghadiri acara seperti itu, seperti undangan makan malam dari teman orang tuaku. Itu pernah terjadi dulu, dulu sekali saat aku masih kecil sampai aku remaja, dan setelahnya sampai sekarang aku sudah cukup pantas berkeluarga aku tidak lagi pernah menghadiri undangan makan malam kecuali urusan pekerjaan bersama kolega dan relasi kantor, itupun banyaknya kami membicarakan pekerjaan ataupun sedikit topik yang memang sedang hangat untuk dibahas.

Tentu saja aku sempat menolak untuk ikut dengan Nana minggu depan dengan alasan aku tidak mengenal mereka, namun Nana membuatku mati langkah, skakmat, dengan mengatakan kalau keluarganya di sini hanya diriku yang jelas-jelas adalah cucu satu-satunya. Aku paling tidak punya energi untuk membantah beliau kalau sudah membawa fakta itu, yang jelas sekali tak bisa aku elakan. Jadilah Sabtu nanti aku akan menemani beliau bertemu dengan keluarga teman Yangki di rumah mereka.

Masih mengarungi jalanan Gatot Subroto untuk mencapai apartemenku di Sudirman sebelum Kala sampai lebih dulu di sana, aku mengendarai mobil tanpa menyalakan stasiun radio. Katakan aku sedikit trauma, atau apapun istilahnya, namun aku memang sedikit khawatir mendengar namaku sendiri sedang dibicarakan di sana dan didengar ratusan bahkan bisa sampai ribuan pasang telinga pendengar stasiun radio kesukaan para jakartans itu. Ini tepat pukul 10 siang, aku harus mengambil baju olah raga dan sepatu yang tidak aku bawa kemarin saat akan menginap di rumah Nana, kemudian aku ada janji dengan salon kuku di PI untuk menghapus cat kuku-ku ini sekaligus melakukan perawatan untuk kuku-kuku-ku yang sebulan ke depan tidak akan berwarna, baru setelahnya aku dan Kala akan lari sore di sekitar pantai Ancol. Sudah kubilang, kan? Kalau aku tidak punya banyak waktu, sudah aku jelaskan apa-apa saja yang biasanya aku lakukan dalam satu minggu full bahkan dalam sehari 24 jam itu tidak cukup untukku.

Tepat setelah mobilku memasuki jalan Sudirman, ponselku bergetar dan menampilkan gambar wajah Kala di layarnya. Aku memasang wireless earphone milikku untuk menerima panggilannya. "Yap?" sapaku.

"Eh, gue udah jalan ya ke apart lo," Aku bisa mendengar suara wanita itu yang sedikit terengah dan ada suara pintu mobil yang tertutup. Sudah jalan apanya?

"Baru mau jalan," koreksiku. Bisa-bisanya aku mau dibodohi, kenapa banyak sekali manusia yang suka membongi teman-teman mereka ketika mereka akan bertemu? Jika belum jalan ya bilang saja belum, kenapa harus dijawab sudah di jalan? Atau sudah mengatakan sebentar lagi sampai namun faktanya baru saja jalan. Itu sedikit menggangguku yang selalu memilih on time jika ada pertemuan apapun itu. "Sama Deryl?" Karena aku mendengar wanita itu baru saja masuk mobil, kemungkinan besar dia bersama kekasihnya.

"Iya nih, dia juga mau ke Ancol sebenarnya, mau main Pinball. Cuma kita kan mau nyalon kuku dulu," Oh, aku jadi sedikit rindu memiliki kekasih. Mengenal Kala sedari aku masuk ke Hygen Kamajaya dan dia sudah memiliki Deryl lebih lama sebelum aku bertemu Vano, untuk wanita sepertinya yang suka membuat list-list pria-pria tampan di kantor, banyak mengkhayal dari karakter fiksi laki-laki yang di sebutnya hero dalam setiap novel yang dibacanya, dan banyak membuat karyawan kantor terutama laki-laki selalu melirik dua kali ketika melewatinya, bisa dibilang Kala cukup lama menjalin hubungan dengan Deryl. "Lo udah sampai?"

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now