[ Bereavement ]

2.9K 539 28
                                    


"Where you used to be, there is a hole in the world, which I find myself constantly walking around in the daytime, and falling in at night. I miss you like hell."Edna


(8th Flashback flies)


Jakarta, Maret 2006

Sudah lewat dari tujuh hari semenjak hari kelabu itu dan rumahku masih terasa ramai karena beberapa saudara dari Mama maupun Papa datang dan menginap agar membuat rumah tidak mendadak kosong dan sepi. Hari itu kami benar-benar melepas Papa dan Yangti untuk selama-lamanya, setelah memeluk Mama dan beliau seketika menjadi lebih merintih dan pelukanku menjadi lebih panjang lagi karena rintihannya membuat luka lainnya di dalam hatiku. Kami tidak beranjak barang sedikit saja dari sisi Papa dan Yangti, menemani mereka dengan membaca surat-surat Al-Quran tanpa henti berharap dapat meringankan jalan mereka di sana, sampai akhirnya mereka harus dibawa untuk disalatkan dan dimakamkan. Di pemakaman, aku terus menerus merangkul Mama sementara Yangki memeluk erat Nana yang kembali histeris sampai jatuh lemas dan membuat Yangki pun beberapa kali mengusap air mata di ujung-ujung mata beliau, sungguh aku tidak sanggup untuk melihat pemandangan seperti ini lagi.

Ghava dan Gania juga hadir di pemakaman entah dapat kabar dari mana mereka datang bersama kedua orang tua mereka, aku bahkan tidak bisa menyapa mereka seperti biasanya dan mereka hanya memberikanku pelukan hangat secara bergantian tanpa mengatakan apapun, mungkin mereka paham kalau aku tidak butuh mendengar apapun sekarang. Sepulangnya kami dari pemakaman Papa dan Yangti setelah sangat lama sampai hari mulai gelap karena Nana dan Mama masih belum mau untuk beranjak dari posisi mereka di samping papan nisan Papa dan Yangti sampai kami membujuk mereka untuk bisa datang ke sini esok hari lagi. Sesungguhnya bukan hanya mereka yang tidak ingin meninggalkan tempat ini—aku juga. Aku bahkan harus menoleh berkali-kali setelah melangkah meninggalkan dua gundukan tanah dengan bunga-bunga yang memenuhi dua gundukan itu di atasnya.

"Gem, how do you feel today?" Gania baru saja keluar dari dalam kamar mandi kamarku dengan rambut basah dan masih mengenakan piyama biru langitnya. Itu adalah pertanyaan gadis itu setiap pagi ketika melihat aku bangun tidur—ya, Gania dan Ghava tetap tinggal di rumahku bahkan seminggu penuh ini hanya untuk menemaniku dan Mama di sini. Dan hari ini aku berniat meminta mereka pulang ke rumah mereka karena besok sudah harus kembali masuk sekolah dan aku tidak ingin membuat mereka sibuk denganku yang padahal kami akan menghadapi banyak ujian di semester ini untuk lulus dan masuk universitas.

Aku yang masih duduk di pinggiran kasur sambil menatap rak buku dengan tatapan kosong merasakan sisi kanan kasur yang aku duduki bergerak dan Gania duduk di sampingku. Tiga hari pertama aku menemani Mama tidur di kamar tamu berhubung beliau tidak ingin tidur di kamarnya sendiri dengan alasan yang pastinya kalian sudah tahu dengan jelas—bayang-bayang Papa masih terasa jelas di sana bahkan di setiap sudut rumah ini, dan akhirnya beliau memintaku untuk kembali tidur bersama Gania sementara Ghava selalu tidur di alas karpet di lantai kamarku, mereka berdua tidak akan meninggalkan aku sampai aku yang meminta mereka pergi nanti.

"Still empty," bisikku ketika aku mencari-cari dibagian dalam hatiku apakah ada perasaan yang bisa aku rasakan untuk hal-hal lainnya selain kesakitan hari kemarin—dan nihil, ternyata efek hari itu sangat besar untuk aku menjadi tidak bisa merasaakan hal-hal kecil lainnya. It's not as easy as we wake up in the morning, and all the pain is gone. No, it is not.

"I even haven't seen you cry hard since a week ago," gumaman Gania bisa aku dengar dan terima dengan benar, sejak hari itu aku tidak menangis tersedu-sedu dan hanya membuat genangan pada mataku dan setetes air mata yang langsung aku hilangkan sedetik setelah dia jatuh.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now